Berita Malpraktik 2008
A. Kesalahan Dokter atau Ketidaktahuan Orang Awam
Sabtu 18 Oktober 2008 pk. 05.15 WIB berita saat itu tentang kasus malpraktik seorang dokter di Tangerang. Seorang wanita menderita lepuh kulit seluruh badan setelah mengkonsumsi antibiotika yang diberikan dokter. Antibiotika diberikan karena penderita sakit campak.
Penderita menunjukkan salah satu amoksisilin bermerek sebagai antibiotika yang telah dikonsumsi. Tayangan itu menunjukkan penderita menuntut dokter untuk mengembalikan kondisi kulitnya kembali seperti semula dan berencana menuntutnya melalui jalur hukum. Nampak kondisi wanita dengan kulit wajah berwarna merah kehitaman dan beberapa area mengelupas. Bibir penderita juga nampak luka-luka dengan keropeng warna kehitaman. Matanya, walaupun tidak nampak jelas, kelihatan berair dan “kotor”.
Sebenarnya apa yang diderita wanita itu? nampak penyakit itu jelas suatu sindroma Stevens-Johnson. Suatu penyakit karena penderitanya alergi terhadap obat. Obat yang sering menyebabkan sindroma ini adalah obat anti kejang, anti nyeri, anti panas dan antibiotika. Beberapa obat yang paling sering menyebabkan sindroma Stevens-Johnson adalah carbamazepin, amitriptilin, phenytoin, parasetamol dan co-trimoxazole. Gejala yang muncul pada penderita biasanya didahului dengan munculnya bercak merah di kulit yang sangat menyerupai campak. Gejala ini disertai dengan demam yang semakin membuat sindroma ini mirip dengan campak. Mata berair dan mengeluarkan kotoran atau “belekan”.
Perbedaannya dengan penyakit campak adalah pada sindroma Stevens-Johnson sering disertai luka-luka di mukosa bibir dan daerah kelamin. Alergi obat ini tidak bisa diprediksi sebelumnya kecuali penderita sudah pernah mengalami sebelumnya. Jadi untuk selanjutnya, wanita pada tayangan tersebut harus menghindari obat-obatan penyebab alergi atau sindroma Stevens-Johnson yang telah dikonsumsinya.
Hanya masalahnya apakah amoksisilin yang ditunjukkan penderita adalah penyebabnya? Amoksisilin diberikan dokter untuk campak yang diderita penderita. Sedangkan campak sendiri bisa menyerupai sindroma Stevens-Johnson. Apakah penderita sudah menderita sindroma Stevens-Johnson sebelum mendapat amoksisilin dari dokter? Obat atau jamu apakah yang sudah dikonsumsi penderita sebelum ke dokter? Pertanyaan berikutnya adalah “Apakah dokter melakukan malpraktek?”
Kejadian ini harus digunakan semua pihak untuk selalu mawas diri. Bagi dokter, informasi yang jelas harus diberikan pada penderita untuk menghindari dugaan malpraktik seperti pada kasus di atas. Bagi penderita, harus berhati-hati mengkonsumsi obat terutama yang dijual bebas. Bagi stasiun TV, diperlukan klarifikasi tentang malpraktik sebelum menayangkan berita malpraktik tersebut.
B. Ada Lebam di Tubuh Pasien Malpraktik
Senin, 24 November 2008 08:46, Pengobat alternatif, Saefulloh (55) warga Kampung Babakan, Desa Cijurey, Kecamatan Geger Bitung, Kabupaten Sukabumi, Jabar, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus malpraktik, yang menyebabkan tewasnya Ny Komariah (50).Ny Komariah yang merupakan warga Kampung Cipancur, Desa Cibatu, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi tewas di tempat pengobatan alternatif milik Saefulloh pada Jumat lalu.
Keluarga korban yang merasa curiga, membongkar kain kafan yang telah dibalutkan oleh Saefulloh dan ternyata terdapat luka lebam di sekujur tubuhnya, sehingga pada Sabtu lalu, keluarga membawanya ke RSU PMI Bogor untuk diotopsi guna mengetahui penyebab kematian korban.Minggu Kapolsek Geger Bitung, AKP Endah, mengatakan, berdasarkan hasil otopsi yang baru selesai pada Sabtu malam tadi di RSU PMI Bogor, terdapat luka lebam akibat benda tumpul di sekujur tubuh korban."Luka tersebut berada di bagian kepala, dada dan jantung korban juga mengalami memar," katanya.
Dengan adanya hasil otopsi itu, maka pihaknya menetapkan Saefulloh sebagai tersangka dalam kasus malpraktik yang membuat seseorang meninggal dunia."Usaha tersangka tidak ada izinnya dari Depkes, sehingga tempat pengobatannya ilegal," ujarnya.Tersangka yang kini masih menjalani pemeriksaan secara intensif di Mapolsek Nyalindung akan dijerat UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. "Tersangka dinilai telah melakukan tindakan medis yang bukan kewenangannya," katanya.Komariah mengalami gangguan syaraf sejak dua tahun lalu dan dibawa ke tempat pengobatan alternatif milik Saefulloh sejak Kamis untuk diobati.
Namun, saat suami korban, Dayat , mencoba menjenguk korban yang sudah dirawat seminggu di situ, dilarang oleh Saefulloh dengan alasan Komariah sedang istirahat."Padahal saya sudah membawa buah-buahan untuk istri saya," kata Dayat di RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi.Sehari setelah menjenguk istrinya di tempat pengobatan alternatif itu, tepatnya Jumat sore, tiba-tiba dia mendapat kabar bahwa istrinya telah meninggal dunia."Jumat (21/11) malam, jenazah istri saya dibawa ke rumah dengan kondisi sudah dikafani, namun, karena keluarga penasaran dengan kematian korban, kain kafan yang menutupi tubuh korban dibuka. Ternyata, di sekujur tubuh ditemukan luka lebam berwarna biru," jelasnya.
C. Korban Dugaan Malpraktik Minta SP3 Dicabut
Kamis, 25 Maret 2010, 14:39 WIBIbunda dari bayi kembar Jared Cristopel dan Jayden Cristopel, korban dugaan malpraktek RS Omni berharap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus anaknya dicabut kembali. Mereka mensinyalir ada makelar kasus yang bermain dibalik proses penyidikan dalam kasus yang melibatkan rumah sakit besar di Tangerang itu.Juliana meminta Polda Metro Jaya segera membuka kembali kasus yang sudah di SP3 pada 16 November 2009 lalu. "Kita berharap dibuka lagi, ini ngaco semua, penyidik tidak profesional," ujarnya saat dihubungi VIVAnews, Kamis 25 Maret 2010.
Sikap tidak profesionalan yang dimaksud Juliana adalah sikap penyidik yang
merendahkan, menyangsikan bukti dan melanggar kode etik.
Tak hanya itu, suami Juliana, Kiki Kurniadi yang saat itu mendampingi dalam pemeriksaan di propam Polda Metro Jaya, mengatakan bahwa dirinya tidak puas dengan penyidikan polisi. Dirinya bahkan menganggap penyidik polisi bertindak layaknya makelar kasus. "Mereka (penyidik) mengarahkan kasus yang saya laporkan dari perbuatan yang mengakibatkan seseorang cacat menjadi cacat karena kandungan istri saya," ujar Kiki.
Saat ditanyakan apakah dirinya menganggap ada markus didalam proses
penyidikan Polda, dengan tegas dia menegaskan benar. "Ya, kita berhadapan dengan markus di Polda" imbuhnya.
Tak hanya mengarahkan, Juliana juga menyebutkan dengan hanya menghadirkan saksi oleh penyidik juga membuktikan adanya kongkalikong antara pihak RS Omni International dengan penyidik."Mereka (penyidik) panggil saksi dari orang Omni, dengan begitu saksi itu kompak mengatakan usia kehamilan istri saya 30 minggu, padahal jelas-jelas 33 minggu 3 hari. Kita punya bukti sejak bukti kehamilan, 27 Desember 2008 lahir 26 mei 2008. Kalau sudah kompak berarti sudah sepakat," jelasnya.
Dengan mengarahkan ke usia prematur yang akibatkan kebutaan, Juliana
menduga penyidik juga sepakat dengan RS Omni yang ingin mengarahkan ke permasalahan kandungan, padahal dia punya bukti data kehamilannya.
Selain itu, sambungnya, bukti resume medis yang menunjukkan aktivitas
dokter saat menangani anaknya sudah diberikan. Dalam resume yang berupa tulisan tangan dokter Ferdy Limawal terlihat jelas ada klausul yang
menyebutkan perlunya penanganan intensif di mata Jared.
"Saat anak saya akan pulang dan dokternya diganti oleh dokter Andi ada klausul note yang berpesan tolong lanjutkan observasi dokter mata.
Berarti tidak ada penanganan oleh dokter mata selama itu," serunya.
Emosi Juliana memuncak saat dirinya diberitahu penyidik bahwa kasusnya akan di SP3 karena kurang cukup bukti. Bahkan dirinya mengajak penyidik ke Australia untuk melihat langsung pemeriksaan media anaknya, dengan biaya dari pihaknya.
Selain itu, dirinya juga diejek penyidik yang menangani kasusnya. "Saya malah diejek, buat apa bu nerusin kasus ini, kan pasti di SP3 karena kurang cukup bukti, kata penyidik," ungkapnya.
Juliana pun mengadukan perihal sikap tidak profesionalan penyidik ke Propam Polda Metro Jaya Senin, 23 Maret 2010. Saat itu, Juliana langsung menghadap ke Kabid Propam, Kombes Joko Hartanto dan dijanjikan
akan memeriksa penyidik yang menangani kasus Juliana. Penyidik yang dilaporkan oleh Juliana sebanyak 6 orang dari 12. Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Boy Rafli Amar mengatakan pihak Polda mempersilakan melapor ke Propam jika dalam proses penyidikan terindikasi ada pelanggaran. "Silakan saja lapor, kita akan memroses jika ada penyidik yang tidak benar dalam bertugas," jelasnya. Namun Boy mengingatkan dalam proses pemeriksaan terhadap penyidik itu dapat memakan waktu hingga satu bulan
D. Siswa SD di duga korban malpraktik
Medan, 12 juni 2008.Setelah senyap sekian lama, dugaan kasus malpraktek yang dilakukan oknum kedokteran kembali muncul di Medan. Kali ini, mengambil korban seorang pelajar SD Yaspen Katolik Asisi, Aldo yang menjalani operasi usus buntu di salah satu rumah sakit swasta di Medan yang dilakukan dokter bedah berinitial ES.
Dugaan malpraktek terbongkar, di mana setelah menjalani operasi tersebut Aldo kembali mengeluh sakit sama seperti yang dialami sebelumnya. Karena tidak ada perobahan, Aldo yang semula ditangani dokter anak DKK dan dokter bedah ES, pindah dokter ke dokter MD.
Berdasarkan keterangan dokter inilah, diketahui sebenarnya, Aldo bukan terkena penyakit usus buntu tetapi penyakit pencernaan. Dokter tersebut juga menyatakan kepada ibu korban Flora Novita, sebenarnya Aldo tidak perlu menjalani operasi usus buntu di rumah sakit tersebut.
Merasa dikecewakan keluarga korban, beberapa hari lalu, mendatangi dr ES di Rumah Sakit itu guna meminta pertanggung jawaban namun dokter tersebut tetap bertahan pada pendapatnya dan tidak mau meminta maaf.Selanjutnya, Flora Novita penduduk Jalan Flamboyan tersebut mengadukan peristiwa yang dialami putra sulungnya ke Mapoltabes Medan, Rabu (11/6) sore.EngganIronisnya, pihak Poltabes Medan enggan dan menolak secara halus saat karyawan perusahaan swasta tersebut akan membuat laporan pengaduan dengan alasan hal itu merupakan kasus perdata.
Akhirnya setelah ibu korban menggelar temu pers dengan sejumlah media cetak di pressroom wartawan Unit Poltabes Medan, barulah pihak kepolisian bagian Reserse Umum (Resum) menerima pengaduan Flora Novita yang datang didampingi rekannya.
Kepada wartawan ketika dihubungi, Rabu malam, Flora mengaku pihak Poltabes Medan belum menerima sepenuhnya pengaduan wanita tersebut. Poltabes meminta kepada keluarga korban rekam medik selama Aldo menjalani perawatan di rumah sakit tempatnya di rawat dan bukti tertulis hasil diagnosa dr MD yang sekarang tengah menangani Aldo.“Setelah itu, baru kami diterima mengadu di Mapoltabes Medan,” tukas Flora sembari menyatakan hal itu kata okmun petugas tersebut merupakan prosedural yang harus dijalani pihaknya.Sebelumnya, kepada wartawan Flora menuturkan, anaknya, Aldo (8) masuk ke rumah sakit swasta B, Selasa (13/5) dinihari dan keluar Selasa (20/5) lalu.
Beberapa hari kemudian penyakit korban kambuh lagi seperti sebelumnya, keluarga korban kemudian pindah dokter anak lain. Hingga kini, korban masih menjalani perawatan berobat jalan.
Dokter ES ketika dikonfirmasi wartawan melalui telepon selular, Rabu malam, menyatakan bahwa tindakan medis yang diambilnya sudah sesuai prosedur dan berdasarkan hasil diagnosa yang akurat.Dikatakannya, Aldo menderita penyakit usus buntu akut sesuai diagnosa dokter DKK. “Saya memiliki alasan dan data lengkap terkait hal itu,” tegasnya sambil menolak untuk bertemu wartawan.
E. Antara malpraktik dan komplikasi
Minggu, 06 April 2008. Pasangan muda itu disodori sebuah map file bening warna hijau yang di dalamnya ada pernyataan persetujuan atau istilah dalam dunia medis adalah INFORMED CONSENT…”Jadi begini, bu, pak…hal ini adalah bukti hitam di atas putih bahwa ibu dan bapak bersedia dilakukan pemeriksaan di klinik ini.” Kata mbak Damai yang sudah lebih dulu berada di BPS (Bidan Praktik Swasta) yang menjadi tempatku mencari pengalaman.
Masyarakat kini makin kritis, apalagi yang menyangkut kesehatan atau keselamatan jiwanya. Sedikit-sedikit bilang ”malPraktik”...atau salah prosedur...Padahal tidak semua hal yang di luar harapan kita pada tenaga medis adalah MalPraktik! Lihat saja berita-berita di TV tak lepas dari pemberitaan tentang MalPraktik dunia medis.
”Jadi beda, nggih, pak, bu, antara MalPraktik dengan Komplikasi. MalPraktik terjadi atas kelalaian dari tenaga medis yang masih menjadi kewenangannya, misalnya waktunya menginjeksi obat (menyuntik) jam 22.00 tapi ternyata dikasihkan jam 05.00 esok harinya. Sedangkan komplikasi adalah hal-hal buruk yang terjadi atas kondisi internal dari klien atau di luar batas kuasa manusia, misalnya bayi yang ditolong bidan atau dokter obgyn ternyata bibirnya sumbing ! Nah, kalo bibir sumbing kan bukan kewenangan tenaga medis to, bu, pak...?” kata mbak Damai melanjutkan penjelasannya
Pasangan muda itu tampak mengangguk-angguk mengerti, dan proses penjelasan itu pun berakhir dengan ditanda-tanganinya pernyataan persetujuan itu oleh mereka berdua.Yah, begitulah dunia para medis..mereka harus bergelut dengan nyawa, apalagi jika amanah itu adalah dengan menjadi seorang bidan, ujung tombak pelayanan kesehatan wanita. Sebab persalinan ataupun kehamilan yang ditangani dan menjadi kewenangannnya adalah hal-hal fisiologis (normal), beda dengan dokter obgyn (spesialis kandungan dan kebidanan) yang menjadi rujukan bagi kasus patologis (tak normal).
Setiap tenaga medis sebisa mungkin akan memberikan pelayanan yang terbaik bagi siapapun, apalagi segmennya bidan adalah masyarakat menengah kebawah yang tidak mungkin akan menarik biaya pengobatan melangit bin ribet seperti alurnya askes yang mbulet! Hanya saja tak semua orang memahami pekerjaan ini, yang mereka tahu adalah terjadi hal buruk sehubungan dengan kerja medis. Apapun alasannya ya itu malpraltik, dan setiap kejahatan harus dihukum.
Tak jarang ada bidan yang dipanggil polisi jika ada pihak keluarga yang menuntut, namun selama prosedur yang dilakukan benar maka ia pun tak bisa disalahkan. Bahkan di dunia kebidanan pun dikenal istilah AMP (Audit Maternal Perinatal), yang merupakan ”sidang” bagi bidan dan atau dokter jika terjadi SATU saja kasus kematian ibu atau bayi. Bayangkan satu saja tak akan pernah luput untuk dievaluasi oleh ”hakim”nya medis, dan hal ini merupakan hal yang dihindari oleh tenaga medis siapapun. Jadi tak mungkin mereka akan dengan gampang melakukan malpraktik....Kecuali jika memang di hatinya sudah lupa dengan sumpah jabatan.
Jika ada kasus ”malpraktik” pun tidak dengan mudah dunia medis akan membongkar alur terjadinya kasus itu. Sebab memang di dunia kedokteran ada kode etik yang tidak dengan sembarangan akan diberikan sebagai pernyataan ke media, apalagi memang istilah yang seharusnya diberikan ke masyarakat seharusnya merupakan bahasa yang bisa dicerna oleh mereka agar tidak menimbulkan salah persepsi.
Jadi jangan mudah berkata hal-hal buruk itu adalah MALPRAKTIK !! jangan terhasut untuk tidak mempercayai tenaga medis, sebab ternyata masih banyak masyarakat yang masih mempercayai dukun daripada tenaga medis yang kini standar minimal pendidikan mereka adalah D3.
F. Dokter Gambiran dilaporkan malpraktik
Senin, 18 Juni 2008. Sunarsih (29) warga RT 02 RW 05 Desa Purwotengah Kecamatan Papar Kabupaten Kediri melaporkan dr Ahmad Afandi SpOG dokter RSUD Gambiran Kota Kediri ke Mapolresta Kediri. Laporan Sunarsih diakibatkan ia menjadi korban malpraktek saat proses persalinan di RSUD Gambiran.
Menurut keterangan Kasat Reskrim Polresta Kediri AKP Purdianto,SH kepada RADAR Surabaya dalam dugaan malpraktek tersebut korban melaporkan oknum dokternya bukan rumah sakit tempat dimana ia pernah dirawat. “Kejadiannya kurang lebih pertengahan April lalu, saat itu korban melahirkan di RSUD Gambiran. Namun pasca melahirkan terjadi pendarahan hebat. Setelah kembali ke RSUD Gambiran di akhir April ternyata dia disuruh operasi, namun korban tidak mau. Selanjutnya korban pindah periksa ke RS Bhayangkara ternyata didalam perutnya setelah melahirkan anak perempuanya plasentanya masih dalam kandungan,” kata Purdianto.
Ditemui wartawan dirumahnya Sunarsih didampingi Lasmudji membenarkan semua apa yang disampaikan polisi sebelumnya,” Saya sangat kecewa dengan pelayanan RSUD Gambiran, makannya saya laporkan biar menjadi pelajaran bagi dokter dan ibu-ibu yang lain yang ingin melahirkan ke RSUD Gambiran,” kata Sunarsih.Dijelaskan Sunarsih dirinya melahirkan anak keduanya perempuan di RSUD Gambiran pada 13 April 2007, setelah empat hari mendapat perawatan ia diperbolehkan pulang. Namun pada 26 April terjadi pendarahan hebat dan akhirnya kembali ke RSUD Gambiran.“Saya di Gambiran mendapat perawatan dan dianjurkan untuk operasi kiret, namun hingga tanggal 1 Mei tak kunjung dilakukan. Hingga akhirnya saya dan suami memutuskan pulang dan pada tanggal 4 Mei saya putuskan masuk ke RS Bhayangkara Kediri. Di rumah sakit itulah diketahui bahwa pendarahan yang timbul diakibatkan plasenta masih tertinggal dalam kandungan, setelah diangkat dan mendapat perawatan hingga beberapa hari, tanggal 8 Mei saya pulang dan sehat hingg sekarang,” tambahnya.
Meski jelas-jelas melakukan malpraktek namun polisi belum menetapkan tersangka terhadap dokter yang bersangkutan. Hingga polisi masih memintai keterangan saksi-saksi,” Kami masih mempelajari apakah ini termasuk malpraktek atau bukan. Kalau nantinya memang malpraktek tentu akan kita tindak lanjuti. Tapi yang jelas harus menunggu sebab saksi-saksi masih kita minta keterangan,” kata Purdianto
Semenyara itu dikonfirmasi terpisah dr Ahmad Affandi SpOG melalui Direktur RSUD Gambiran dr Endang Wahyu Laksmiwati MARS menyatakan belum menerima laporan terkait pengaduan ke polisi terhadap anak buahnya tersebut,” Kami belum menerima laporan terkait masalah tersebut dan saya belum bisa memberikan keterangan secara detail sebab saya belum membaca rekam medisnya,” kata Endang.
G. Korban malpraktik berjubah hitam demo polds metrojaya
Rabu, 16 April 2008. Jakarta - Dengan berbalut jubah warna hitam, sekitar 50 orang korban malpraktek berdemo di Gedung Polda Metro Jaya. Pendemo minta kasus malpraktek diselesaikan.
50 Korban malpraktek menggelar ujuk rasa di halaman Polda Metro Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (16/4/2008) pukul 11.00 WIB.Pendemo yang mayoritas ibu-ibu ini kompak mengenakan jubah warna hitam yang ditempeli kertas bertulisan antara lain "Teliti ulang laporan malpraktek", "Jangan persulit korban malpraktek", dan "Beri kami keadilan." Bukti laporan korban malpraktek juga ditempelkan ke jubah mereka.
Selain jubah hitam, pendemo membawa payung hitam yang juga ditempeli tulisan dengan tuntutan yang sama."Saya menuntut keadilan. Kami minta kasus malpraktek cepat diselesaikan," kata Muhimah, salah seorang pendemo, dalam orasinya.
Direktur LBH Kesehatan Iskandar Sitorus yang hadir bersama pendemo meminta kasus malpraktek dituntaskan. "Kita juga mau ke Komnas HAM untuk mengadukan hal yang sama," ujarnya. Pendemo tidak ditemui pejabat Polda Metro Jaya.
H. RS pelabuhan Jakarta dilaporkan malpraktik
Senin, 2 Juni 2008. JAKARTA - Korban malpraktik Sri Mulyati didampingi LBH Kesehatan melaporkan Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta ke Polda Metro Jaya atas dugaan mal praktek.
Sri Mulyati mengaku suaminya, Syaripuddin, meninggal setelah menjalani operasi Hydro Cepalus di RS Pelabuhan Jakarta.
"Hasil scan di Rumah Sakit Sulianti Saroso curiga terkena fentrikulitis fentrikle III dengan Hydro Cepalus ringan dan dianjurkan operasi," ujar Sri Mulyati kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Senin (2/6/2008).Sri menambahkan pihak RS Pelabuhan juga tidak memberi fasilitas kesehatan yang dibutuhkan Syaripuddin, karena pembayarannya menggunakan kartu GAKIN. "Tagihan sudah over limeted," ujar Sri menirukan perkataan perawat.
Bahkan dokter yang mengoperasi Syaripuddin, dr Wimbo tidak pernah mengecek lagi. Selanjutnya, hanya perawat harian yang mengontrol kondisi kesehatan Syaripuddin, sampai akhirnya meninggal pa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar